Jumat, 28 Desember 2018

Ketika Istri Nabi dilanda rasa Cemburu

Diperlukan sikap santun dan lemah lembut dari suami, berakhlak yang baik dan bijaksana dalam mensikapi pasangan ketika berbuat salah. Sementara bagi istri, diperlukan sikap bijak dan tak berlebihan agar cemburu tak keluar syariah
Ketika Istri Nabi Dilanda Cemburu
ilustrasi
CINTA dan kasih sayang serta sikap lembut dan pemaaf dari suami istri adalah pilar tegaknya bahtera rumah tangga. Kalau kita mengkaji siroh Nabawi kita akan mendapati akhlak Nabi yang mulia dalam bergaul dan memperlakukan keluarga dan para istrinya.
Beliau adalah sosok suami yang sangat besar kecintaan dan kerinduannya kepada istri-istrinya. Beliau selalu memuliakan para istrinya dan tidak pernah sedikit pun menghinakannya. Selalu mengarahkan dan memberinya nasihat. Tidak pernah diriwayatkan beliau memukul atau melukai istri-istrinya.
Abu Hurairah Radliyallohu ‘anhu meriwayatkan;
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِي جَارَهُ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan juga kepada hari akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Pergaulilah wanita kaum wanita dengan baik.” (HR. Bukhari)
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam juga bersabda;
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
 “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap isteriku.” (HR. Tirmidzi)
Namun adakalanya letupan-letupan kecil dari api cemburu menghampiri istri-istri Nabi. Sebagai seorang wanita, istri nabi pun tidak lepas dari sifat cemburu. Dan ini adalah hal yang wajar dan manusiawi. Masalahnya dibanding kita semua, cara Rasulullah mensikapi kecemburuan istri beliau menunjukkan kesempurnaan dan kebaikan akhlak beliau sebagai seorang suami terhadap istrinya. Beliau sangat sabar di saat salah satu istrinya tengah cemburu.

Dalam sebuah hadits, Sahabat Anas bin Malik menceritakan; “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berada di rumah salah seorang istrinya, ” Anas berkata; “Menurutku adalah Aisyah.” Lalu Salah seorang istri beliau yang lain mengirimkan sepiring makanan yang diantar oleh utusannya, namun istri yang bersama beliau membuang piring yang berada di tangan utusan sehingga pecah terbelah menjadi dua. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan:  غَارَتْ أُمُّكُمْ “(Ibu kalian sedang cemburu)” Lalu beliau menyatukan dua pecahan piring tersebut dan meletakkan makanannya di atasnya seraya bersabda: “Makanlah oleh kalian!” maka para sahabat pun memakannya. Sementara beliau tetap memegang piring yang pecah tersebut hingga mereka selesai memakan makanannya, lalu diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah piring yang lain, lalu beliau pun tinggalkan yang pecah.” (HR. Ahmad)
Rasulullah menyebut perbuatan Aisyah tersebut sebagai bentuk cemburu. Lalu beliau berdiri dan menyatukan piring yang terbelah menjadi dua tersebut dan meletakkan makanan yang tercecer diatas piring tersebut kemudian mengajak para sahabat untuk memakannya.

Setelah itu Rasulullah mengirim piring milik Aisyah untuk diberikan kepada istri beliau yang telah mengirim makanan melalui seorang pembantu tadi sebagai ganti atas piringnya yang dipecahkan oleh Aisyah Radliyallohu ‘anha. Sabda beliau dalam hadits riwayat at-Tirmidzi ; طعام بطعام، وإناء بإناء “(merusakkan makanan diganti dengan makanan, bejana diganti dengan bejana)”. Lalu selesailah perkara. Yang demikian ini karena sikap santun dan bijaksana yang dimiliki oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.
Hadits diatas menunjukkan kebaikan akhlak beliau dalam mensikapi istrinya yang sedang cemburu. Beliau tidak marah kepada Aisyah apalagi sampai memukulnya.
Seandainya bukan Rasulullah, tentu orang yang mengalami kejadian seperti cerita diatas akan sangat marah kepada istrinya. Ia akan merasa sangat malu dan terinjak-injak harga dirinya dihadapan sahabat-sahabatnya. Tidak menutup kemungkinan malah ia akan menghajar istrinya dan terjadilah kasus KDRT.
Ibnu Hajar Al-Atsqalani mengatakan, sabda nabi “ghaarat ummukum” (ibu kalian dilanda cemburu) menunjukkan sikap memaafkan yang ditunjukkan Nabi kepada perbuatan Aisyah. Dan ini juga menunjukkan tentang tidak bolehnya memberi hukuman kepada seorang istri yang sedang cemburu karena saat itu akalnya sedang tertutup oleh marah akibat cemburu.
Tidak hanya di sini saja ‘Aisyah cemburu. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim diceritakan;
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهَا لَيْلًا قَالَتْ فَغِرْتُ عَلَيْهِ فَجَاءَ فَرَأَى مَا أَصْنَعُ فَقَالَ مَا لَكِ يَا عَائِشَةُ أَغِرْتِ فَقُلْتُ وَمَا لِي لَا يَغَارُ مِثْلِي عَلَى مِثْلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَدْ جَاءَكِ شَيْطَانُكِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْ مَعِيَ شَيْطَانٌ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَمَعَ كُلِّ إِنْسَانٍ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَمَعَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ وَلَكِنْ رَبِّي أَعَانَنِي عَلَيْهِ حَتَّى أَسْلَمَ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam keluar dari kediamannya pada suatu malam. Aisyah berkata: Aku merasa cemburu pada beliau lalu beliau datang dan aku melihat yang beliau lalukan. Beliau bertanya: “Kau kenapa, Wahai Aisyah?” aku menjawab: Orang sepertiku mengapa tidak menyemburui orang seperti Tuan? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Apa setanmu mendatangimu?” Aisyah bertanya: Wahai Rasulullah, apakah ada setan menyertaiku? Beliau menjawab: “Ya.” Aisyah bertanya: Juga menyertai semua manusia? Beliau menjawab: “Ya.” Ia bertanya: Menyertai Tuan juga? Beliau menjawab: “Ya, hanya saja Rabbku menolongku mengalahkannya hingga ia masuk Islam.” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Aisyah juga menceritakan;
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ خَدِيجَةَ أَثْنَى عَلَيْهَا فَأَحْسَنَ الثَّنَاءَ قَالَتْ فَغِرْتُ يَوْمًا فَقُلْتُ مَا أَكْثَرَ مَا تَذْكُرُهَا حَمْرَاءَ الشِّدْقِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا خَيْرًا مِنْهَا قَالَ مَا أَبْدَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهَا قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ
“Ketika Rasulullah menyebut-nyebut kebaikan Khadijah, timbullah kecemburuan di hati Aisyah. Aisyah menceritakan, “Apabila Nabi Shallallahu’alaihiwasallam mengingat Khodijah, beliau selalu memujinya dengan pujian yang bagus. Maka pada suatu hari saya merasa cemburu hingga saya berkata kepada beliau; ‘Alangkah sering engkau mengingat wanita yang ujung bibirnya telah memerah, padahal Allah telah menggantikan untuk engkau yang lebih baik darinya. Serta merta Rasulullah bersabda: “Allah AzzaWaJalla tidak pernah mengganti untukku yang lebih baik darinya, dia adalah wanita yang beriman kepadaku di saat manusia kafir kepadaku, dan ia membenarkanku di saat manusia mendustakan diriku, dan ia juga menopangku dengan hartanya di saat manusia menutup diri mereka dariku, dan Allah AzzaWaJalla telah mengaruniakan anak kepadaku dengannya ketika Allah tidak mengaruniakan anak kepadaku dengan istri-istri yang lain.” (HR. Ahmad)

Tak berlebihan hingga keluar Syariat
Cemburu adalah hal yang lumrah dan alami dalam kehidupan suami istri. Namun bila cemburu sudah kelewat batas maka tentunya membawa dampak negatif bagi kelangsungan hidup rumah tangga dan akan menimbulkan banyak permasalahan.
Cemburu itu ada dua jenis; Jenis yang terpuji dan yang tercela. Cemburu yang terpuji adalah cemburu yang tidak melewati batas syari’at. Cemburu yang tercela ia melewati batas syari’at. Jika kecemburuan itu melewati batas syari’at akan menjadi tercela karena ia akan mendorong pelakunya untuk menuduh orang lain, terutama tuduhan suami terhadap istrinya. Padahal Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (Al-Hujurat: 12)
Dan di dalam Shahihain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((إِيَّكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيْثِ))
“Jauhi oleh kalian prasangka karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dusta pembicaraan.”
Oleh karena itu diperlukan sikap santun, lemah lembut dan bijak saja dari suami, dalam mensikapi pasangan ketika berbuat salah. Sementara bagi istri, diperlukan sikap bijak dan tak berlebihan saat mengelola cemburu agar tak keluar dari koridor syariat.
Oleh karena itu dalam lanjutan hadits yang disebut diawal, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam mewasiatkan kepada para orang tua dan para suami untuk memperlakukan putri-putri dan istri-istri mereka dengan baik serta senantiasa mewasiatkan kebaikan sebagaimana sabdanya;
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Pergaulilah kaum wanita dengan baik, sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesuatu yang paling bengkok yang terdapat tulang rusuk adalah bagian paling atas. Jika kamu meluruskannya dengan seketika, niscaya kamu akan mematahkannya, namun jika kamu membiarkannya maka ia pun akan selalu dalam keadaan bengkok. Karena itu pergaulilah wanita dengan penuh kebijakan.” (HR. Bukhari).*/Imron Mahmud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tugas UAS Lia Nurfiana - 171310003786

https://drive.google.com/file/d/1UIc0vBK1NbmR3eN24sRYzetZNlfvXoT4/view?usp=sharing